Menyelisik Kehidupan Supir Bus
MESKI bekerja di perusahaan otobus (PO), status sopir bus bukanlah karyawan tetap yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana karyawan kantoran pada umumnya. Status sopir sama seperti buruh harian lepas yang hanya akan mendapatkan upah kalau dia bekerja. Malah, buruh harian lepas lebih mending, setidaknya mereka bisa beristirahat di rumah dengan tenang bersama keluarganya jika mereka tidak sedang bekerja atau nganggur.
Itulah setidaknya kisah yang digambarkan oleh Edi Kasim (50 tahun). Ayah dari empat anak ini merupakan salah seorang sopir bus PO "Bhineka" yang sudah melakoni profesi sebagai sopir bus selama 15 tahun.
Menurut Edi, tidak setiap hari dirinya bisa mendapat pemasukan. Bahkan, di saat-saat tertentu, dapur rumahnya sering "tidak ngebul" akibat minimnya pemasukan yang diperolehnya. Edi yang memegang rute bus jurusan Cirebon-Merak ini mengatakan, waktu tempuh perjalanan trayek antara dua kota itu kini malah bertambah lama sampai dua kali lipat dari sebelumnya sehingga jadwal ngetem pun selalu terlewat. "Terpaksa kami harus menginap di Terminal Merak untuk bisa memenuhi ngetem hari berikutnya," ujarnya.
Padahal, pendapatan sopir hanya mengandalkan adanya selisih pemasukan dari penumpang dikurangi pengeluaran untuk bahan bakar minyak, setoran, makan, cuci bus dan keperluan belanja lainnya. Saat ini, setoran bus untuk sekali jalan pulang-pergi adalah kurang lebih sebesar Rp 1 juta, sedangkan bahan bakar minyak bisa sampai Rp 2 juta.
Dalam kondisi jalanan normal, biasanya bahan bakar minyak untuk perjalanan pulang-pergi sebesar Rp 1,5 juta, namun karena jalan rusak, macet dan waktu bertambah lama, biaya bahan bakar minyak bisa sampai Rp 2 juta. Belum untuk keperluan beli makan, cuci bus, dan lainnya sekitar total Rp 500 ribu sehingga seringkali hanya tersisa Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu.
"Dari sisa itu pun harus kami bagi bertiga dengan kondektur dan kernet. Kadang selama tiga hari itu, paling bawa uang ke rumah hanya Rp 100 ribu. Tetapi itu juga masih mending, kadang-kadang jangankan bawa pulang uang ke rumah, untuk setor saja harus nombok," ujarnya.
Akibat kondisi yang tidak menentu itu, menurut Edi, sudah banyak teman-temannya sesama sopir akhirnya memilih untuk bekerja serabutan yang lainnya. Setidaknya, kalau bekerja serabutan yang lainnya, dirinya tidak harus mengeluarkan ongkos besar dan masih bisa beristirahat dengan tenang di rumah.
Tanggapan dari Pimpinan PO
Pimpinan PO "Bhineka", Abdul Hamid, membenarkan adanya sopir bus yang sudah banyak beralih menjadi pekerja serabutan seperti yang diungkapkan Edi. Menurut Abdul, ia sering kesulitan mendapatkan sopir bus, terutama untuk ditempatkan sebagai sopir reguler. Dari sekitar 500 sopir bus reguler yang terdata bekerja di PO "Bhineka", hampir 50 persen di antaranya sudah susah dihubungi karena mereka lebih memilih bekerja serabutan.
"Nantilah kalau kondisi jalan sudah normal, bakal bergabung (bekerja) kembali," ujar Abdul Hamid, mengutip alasan yang dikatakan para sopir bus yang kini beralih bekerja di luar profesi sopir.
@@@
Ani Nunung, H.U. "Pikiran Rakyat", JOY DEDICATION Blog | 26/02/2014(16)-Daraoraura
Tidak ada komentar